Kyai Haji
Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)
Bagian I
Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada
para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan
kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang
terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang
demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri
Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya
dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota
Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur
(Soedja‘, 1933: 232).
K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah
putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta
pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja‘. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim
menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja‘,
1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak
berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang
beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari
K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu
sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian
para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita
zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar silaturahmi. Karena
kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan
(Suara ‘Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa
kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji
Al-Qur’an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh
saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji
pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih
kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah
lanjut usia.
K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai
ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat
sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk
mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang
cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh)
Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab.
Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan
kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu
kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau
sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi
Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Bagian II
K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan
beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan
diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja‘, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat
ini banyak memberikan jasa kepada Muham-madiyah dan ‘Aisyiyah, misalnya
banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, PKU, Bagian
Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka.
Pengajian
yang diasuh K.H. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton.
Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum‘at dan Selasa. Dalam
menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda, yaitu :
1.
Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan,
yaitu mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk
anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu.
2.
Pada waktu sore hari sesudah Ashar sampai kurang lebih pukul 17.00
dengan cara weton, yaitu mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca
sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing.
Semenjak kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat.
Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan
Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti
Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di
Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah
ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka
Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Menurut catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H.
Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut
dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang
bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga
mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan
perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah
Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
Pada
periode kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim
putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin, Mu‘allimat, Tabligh
School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian
di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster
My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung
di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar
Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau. Sementara
dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar tahun 1932 diputuskan supaya Muhammadiyah
menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan
kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan
Adil.
K.H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali Kongres
Muhammadiyah. Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak memberikan
kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam
gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil membimbing
gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil
meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid),
serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari
pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan
pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond
(PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki
Belanda. Tujuan PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik
gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran dan juga dalam
aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula.
PEB
mendirikan perkumpulan dengan nama Jam’iyatul Hasanah yang bertujuan
untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama
Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap
Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah
dianggap telah bekerja-sama dan menerima dana dari PEB yang merupakan
kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan
dalam kepemimpinan K.H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari
Cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti fitnahan tersebut
tidak benar.
Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat
Tahunan Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah
diganti menjadi Kongres Muhammadiyah, mengambil tempat di Surabaya sebagai
Kongres Muhammadiyah ke-5.
K.H.
Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun
1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah
mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah
ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode
kepemimpinan K.H. Ibrahim) Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di
seluruh tanah air.
KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)
Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kyai Haji Hisyam. Ia dipilih dan
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah
ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad
Dahlan, yang juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10 November 1883 dan wafat 20
Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia
dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian
dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935,
dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia
(Jakarta) pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan
manajemen organisasi pada zamannya. Pada periode kepemimpinannya, titik
perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan
pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini tercermin
dari pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang
didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat
itu disebut, sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru di HIS Met de
Qur’an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu orang putranya menamatkan
studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan
studi di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan
sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru
yang berwenang untuk mengajar HIS Gubernemen.
Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan K.H. Hisyam
mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam
administrasi dan organisasi juga semakin mantap. Hal ini terjadi barangkali
karena K.H. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua
Bahagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar
tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan
dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka
pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian,
maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di
Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool,
yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang
semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche
School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik
yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.
Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi
sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang
dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir
bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum
tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum
yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih
dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus
memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan
Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari
pemerintah colonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan
pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah
kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan
pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan
K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan
Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam
berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas
dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut,
Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan
Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini.
Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi
tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah
Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi
kolonialisme Belanda.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam,
maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool,
47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool,
yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau
standaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga
dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah
saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan
pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan
sekolah-sekolah Protestan.
Berkat
jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia
mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa
bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai
telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya
dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di
Indonesia.
KH Mas Mansyur (Ketua 1937 - 1941)
Bagian I
Sebelum
Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, K.H. Ahmad Dahlan sudah sering
melakukan tabligh ke daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa
pengajian yang diselenggarakan di Peneleh, Surabaya. Dalam pengajian-pengajian
itulah Bung Karno muda dan Roeslan Abdul Gani muda, untuk pertama kalinya mendengarkan
penjelasan tentang ajaran Islam dari K.H. Ahmad Dahlan.
Setiap
melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan biasanya bermalam di
penginapan. Namun, suatu malam ia didatangi seorang tamu yang memintanya agar
setiap K.H. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu
itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan
oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh isi kajian yang
diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.
Mas
Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya bernama
Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren
Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang
pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia
berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai
imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat
pada saat itu.
Masa
kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia
juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya.
Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh
ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji
Al-Qur‘an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama
dia belajar di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia,
sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang
dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk
menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal
dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun
belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa
Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing
harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah
Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu
kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat.
Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang
tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup —karena tidak mendapatkan kiriman uang
dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup— harus dijalaninya. Oleh
karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan
makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun,
dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di
Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih.
Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan
semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk
semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga
memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media
massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih
dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah kembali ke
Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang
dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti
Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu,
mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad
Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga
menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak
berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal
dunia.
Langkah
awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam
Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu
terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan
nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan
sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS.
Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia
dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Selain
itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah
yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya
majelis ini diilhami oleh keadaan masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut
kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima
pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir
al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya
mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing.
Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat
keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas
Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di
berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang
menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan,
Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab
al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga
Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik
dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati,
dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka
dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka
berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk
membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur
tangan bangsa lain, itulah yang mereka harapkan.
Taswir
al-Afkar merupakan
wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan,
merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya perbedaan
pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai
masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir
al-Afkar.
Bagian II
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot.
Pikiran-pikiran pembaharuannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama
kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama
majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh
karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem
merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah
ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab
(pegon). Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan
pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan
pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum
muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur
pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan
di Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan
Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui
majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk
buku, antara lain yaitu Hadis Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid
dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Selain
aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun
aktivitas organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921,
Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur di Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan
mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua
Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa
Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Mas Mansur dikukuhkan sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di
Yogyakarta pada bulan Oktober 1937.
Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan
angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang
terlalu mengutamakan pendidikan, hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah
Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam).
Angkatan muda Muham-madiyah berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya
dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu K.H. Hisyam (Ketua Pengurus Besar), K.H.
Mukhtar (Wakil Ketua), dan K.H. Syuja’ sebagai Ketua Bahagian PKO (Penolong
Kesengsaraan Oemoem).
Situasi
bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada
tahun 1937, Ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada
tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin
kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan
diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid
juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah
Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi setelah melalui
dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran
kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah
tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan
demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan
Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar
Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda
Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat
pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah.
Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan
persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan
bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena
Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap
karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima
silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk
urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah
Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur
juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat
itu. Yang perlu juga dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan
tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum
bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu
sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat
Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi
perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian,
dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan
guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Dalam
dunia politik ummat Islam saat itu, Mas Mansur banyak melakukan gebrakan.
Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak
terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB
Muhammadiyah, ia mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi
ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul
Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)
bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif
dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang
berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan sebutan empat
serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga
jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun,
kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia
menyebabkannya tidak tahan dalam aktivitas empat serangkai tersebut, sehingga
ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai
digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit.
Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk
melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara
NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang
berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas
jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional bersama H. Fakhruddin.
Ki Bagus
Hadikusuma (Ketua 1944 - 1953)
Pahlawan
perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta
dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga
dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama
Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai
memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman.
Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah
dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini
ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf.
Dalam
usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan
memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo,
yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di
Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita
pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga
orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang
pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia
memperoleh lima anak.
Sekolahnya
tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di
pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab
terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia
merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah
UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia
(PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan
landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok
pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota
PPKI.
Secara
formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh
(1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah
(1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad
Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan
mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok
pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang
merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh
Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah
tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan
Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki
Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya
antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang
lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka
Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan
bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk
seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan
ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh
eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya
terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden
commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk
memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik
pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan
seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian
diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu
ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat
terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II.
Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB
Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di
Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi
Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat
Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di
bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki
Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang
terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah
melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa
Matahari.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun
(1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Bagian I
Ranah
Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad
Rasyid Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26
Jumadil Akhir 1313 Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga
dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya,
yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya
Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh
dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.
Ahmad
Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari
kedua orang tuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe
School (IS) tahun 1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu
ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool
(Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan
beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun,
tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama, disamping
saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah Belanda.
Sikap
anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak
saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali
berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung
dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan
membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam
penyebarluasan agamanya. Maka, tidak mengherankan bila pada tahun 1928 ia
berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan
peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum
mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam
pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan
pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang
tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika
Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi
pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya,
atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul
(Dr. Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam
di Minangkabau. Dibawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu
Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan
mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Karim
Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA
serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim gurunya ke Kuala
Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919),
ia kembali ke Maninjau.
Terjadinya
pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan
studi di universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia
tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya, ia
berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para
perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Kegelisahan
pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam
menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan K.H. Ahmad Dahlan
yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya
ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan
mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang,
Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan.
Ketertarikan
tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide
gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam
kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama
dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam
terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Selain itu, ia menemukan
Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan
menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di
Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi.
Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban usai
menunaikan shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
Pada
tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah
ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan
kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga
memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif
mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
Ketika
terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di
ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah
untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi
Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal
dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga
Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.
Pada
tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan
Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan
cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan
menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan
Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-cabang
Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan
demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di
luar pulau Jawa.
Selain
di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana juga K.H. Ahmad Dahlan— pada
dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat
dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam
dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil
tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.
Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap
karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan
Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan
sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi
Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya
Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah
menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya
hubungan Sumatera dan Jawa.
Bagian II
Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka
dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang,
tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader
Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah
dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak, muballigh-muballigh
ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam
menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah. Sutan Mansur, oleh Konsul-konsul
daerah lain di Sumatera, dijuluki sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi
penasehat agama bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh
pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi
In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun
1947 sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam
atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera,
berkedudukan di Bukittinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
Setelah
pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan
Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu
ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk
bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno
memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya
dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya
bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke
Jakarta.
Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura
Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak
Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh presiden Soekarno. Tahun 1958
ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di
Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya
pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam
pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.
AR Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua
kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto tahun
1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena
itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada Kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956
di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.
Pada
masa kepemimpinannya, upaya pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan
pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama,
merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi
janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua,
mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat
masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik
anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap
rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14 dan
15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap
menghidupkan taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas
antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara
Majelis dengan Cabang atau Ranting banyak diselenggarakan.
Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah
tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:
(1)
Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan
mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan
Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
(2)
Melaksanakan uswatun hasanah.
(3)
Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
(4)
Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
(5)
Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
(6)
Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk
mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
(7)
Menuntun penghidupan anggota.
Meskipun
setelah 1959 tidak lagi menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang
sudah mulai uzur tetap menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari
periode ke periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat,
konferensi, Tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian
keluarga Muhammadiyah.
Buya
Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa
tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid
Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin
mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam
Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan
tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan hadis.
Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985
bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang
ulama, da’i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa
memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung
Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah almarhum Buya
dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan
di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Buya Hamka menyebutnya sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M. Yunus Anis
dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua
bintang. Bintang timur adalah K.H. Mas Mansur dari Surabaya, Ketua PP
Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang barat adalah Buya AR. Sutan Mansur dari
Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.
Kyai Haji Muhammad Yunus Anis (Ketua 1959 - 1962)
Keluasan
dan kekuatan pengetahuan agamanya, membuat tak sedikit orang percaya pada
kealiman sosok Muhammad Yunus Anis yang kerap disapa pendek, Yunus Anis. Tak
terkecuali kalangan tentara. Bukti nyata besarnya kepercayaan yang diberikan
TNI (Tentara Nasional Indonesia), maka pada tahun 1945 TNI menobatkan Yunus
Anis selaku Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indoenesia, atau biasa
dikenal Imam Tentara. Selama mengemban tugas itu, Yunus Anis banyak memberikan
pembinaan mental terhadap para tentara. Putra sulung sembilan bersaudara dari
pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3 Mei
1903. Persis seperti pengakuan yang tertuang dalam Surat Kekancingan dari
Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1961, Yunus
Anis tercatat sebagai keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian,
berhak pula menyandang gelar Raden.
Masa kecil Yunus Anis banyak mendapat tempaan teladan dari ayahnya, yang tak
lain kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan. Bahkan nama sang ayah tercatat dalam recht
person Muhammadiyah. Membaca Al-Qur’am dan pendidikan akhlaq, adalah ilmu
pertama dan utama yang diperoleh dari kakek dan
ayahnya. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat
Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah
Al-Irsyad, Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, kawan
karib KH Ahmad Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa
dirinya tampil sebagai muballigh yang tangguh. Tamat dari pendidikan formalnya,
Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh sesuai pengetahuan agama yang
diperolehnya. Tak segan-segan Yunus Anis terjun ke tengah-tengah masyarakat di
berbagai daerah Tanah Air untuk mengembangkan misi dakwahnya dan sekaligus
menyebar luaskan gerakan Muhammadiyah.
Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di
berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang
Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio,
Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis
membuka jalan baru bagi berkembangnya Muhammadiyah dan banyak mendirikan
cabang-cabang Persyarikatan Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan
misi dakwah dan gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya
sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah.
Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda Hizbul
Wathan. Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu berkiprah
sungguh-sungguh dalam membina pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif
bersendikan nilai-nilai Islam. Dan, di kemudian hari diharapkan menjadi
gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh. Dalam
kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara Yogyakarta, Yunus Anis
tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil menunggang kuda untuk
memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya ditunjang postur tubuhnya yang tinggi
besar, sosok kepemimpinan yang tegas dan berkesan. Tak pelak, kesan itu
kemudian tersiar luas di kalangan Muhammadiyah.
Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator.
Bakat itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia,
hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan
dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus
Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam
nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus
Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar
bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno.
Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari
tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak
mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak
secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan
ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk
kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang.
Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai
macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik
dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat
membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam
situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian
Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh
K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun
1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.
KH Ahmad Badawi (Ketua 1962 - 1965)
Penasihat
Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di Kauman Yogyakarta,
pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya, K.H. Muhammad Fakih
(salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan
ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika
dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad Badawi memiliki garis keturunan
dengan Panembahan Senopati.
Dalam
keluarga Badawi sangat kental ditanamkan nilai-nilai agama. Hal ini sangat
mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara
saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi.
Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu
ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di
pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang
mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia
kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun
1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar
tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada
K.H. Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal
sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat
di Pondok Lerab. Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok
di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu
agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun
1920-1921. Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah
menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya
organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya
harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi.
Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai
macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda,
dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan
Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari
berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai
pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan
orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di
Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota
Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini
diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15
Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada
masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut
beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo.
Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz
sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto,
MPP Gedongan.
Pada
tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian
membubarkan diri.
Semenjak
berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk
bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah
(madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan
ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk
dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun
1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala
Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun
1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi
wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak
itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu
Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di
Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1965-1968.
Citra
politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut,
karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi
yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra
ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh
anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan
dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi
realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan
urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama.
Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat
dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa
Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang
kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan
Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden
Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di
bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan
untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan
pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat
atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia
memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya
untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa
dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA.
Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno
sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan
fatwa Kiai Badawi.
Bagi
Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah
yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri
sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi,
namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya
semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah,
t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat
memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan
PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat
politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam.
Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak
terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman
rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang
dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada
Presiden.
Pada
tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada
Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya
sedikit memberikan nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini
dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya
kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak
dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai
seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang
telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan
Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa),
Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji
(bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il
Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla
(Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf
Anis, tt: 27).
KHA.
Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir
Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA. Badawi masih
menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di
Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode
1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.
KH Faqih Usman (Ketua 1968 - 1971)
Kyai
Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia
berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Faqih
Usman merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan,
baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa
kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari
ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik
tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu
pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga
banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional,
karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar
dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan
kemerdekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia
Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Faqih Usman dikenal memiliki etos enterpreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis
yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang
bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik
tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang
Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya
dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua
Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah
satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena
kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis
Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya.
Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia
menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada
tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam
susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih
sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang
meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode
1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena
ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968.
Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin
yang masih sangat muda.
Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat
membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam
sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah
memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai
organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun
1937.
Pada
tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional
Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas)
bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.
Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil
dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam
Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus
Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun
1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi
para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan
oleh rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota
politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya
permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai
terlarang.
Faqih
Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah
dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim
Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951
ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air
yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia
dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April
l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri
Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan
Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU
menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah
diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang
terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya
justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota
aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan
pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi,
dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu
terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha
menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat
saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam
kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan
Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam
menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan,
bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman
kembali ke Muhammadiyah yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan
KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep
pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan
pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di
Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
KH Abdur Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)
Pak
AR demikian nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin,
adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22
tahun (1968-1990). Pak AR lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan,
Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah seorang Lurah Naib atau
Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII,
berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya adalah
Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.
Pada
tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard
School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Setelah ayahnya tidak menjadi
Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di
Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard
School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat
dari Standaard School Kotagede tahun 1928, ia masuk ke Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya
memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada beberapa kiai di
sana, seperti ayahnya sendiri, K.H. Abdullah Rosad, dan K.H. Abu Amar. Sehabis
Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah
Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.
Setelah
ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 A.R.
Fachruddin masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti,
Sewugalur. Selanjutnya, pada tahun 1935 A.R. Fachruddin melanjutkan sekolahnya
ke Madrasah Tablighschool (Madrasah Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.
Pada tahun 1935, A.R. Fachruddin dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah
ke Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) dengan tugas mengembangkan gerakan
dakwah Muhammadiyah. Di sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin
Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia juga mengembangkan hal yang
sama di Ulak Paceh, Sekayu, Musi Ilir (sekarang Kabupaten Musi Banyu Asin).
Pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai
pengajar HIS (Hollandcse Inlanders School) Muhammadiyah, setingkat
dengan SD.
Pada
tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan
sendirinya sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian A.R. Fachruddin
dipindahkan ke Tebing Grinting, Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944.
Selama bertugas itu Pak AR mengajar di sekolah Muhammadiyah serta memimpin
dan melatih HW, memberi Pengajian dan sebagainya
Ketika
kembali Yogyakarta, ke desanya Bleberan, Kulon Progo (tahun 1944), A.R.
Fachruddin terus aktif berdakwah dalam Muhammadiyah. Ketika pada tahun 1950
pindah ke Kauman Yogyakarta, A.R. Fachruddin tetap aktif sambil terus belajar
kepada para assabiqunal awwalun Muhammadiyah, seperti K.H.
Syudjak, KHA. Badawi, KRH. Hadjid, K.H. Muchtar, Ki Bagus Hadikusumo, K.H.
Djohar, K.H. Muslim, K.H. Hanad, K.H. Bakir Saleh, K.H Basyir Mahfudz, Ibu Hj.
Badilah Zuber dan sebagainya.
Keterlibatan A.R. Fachruddin di pusat Muhammadiyah mengantarkan beliau menjadi
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, selanjutnya menjadi anggota Dzawil Qurba
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sampai akhirnya dipercaya memimpin Muhammadiyah
selama kira-kira 22 tahun (1968-1990).
Pak
AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait
accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan
wafatnya K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada
tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada tahun 1971.
Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar
Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan
terakhir 1985-1990.
Dari
riwayat perjalanan dakwahnya, dapat ditarik kesimpulan, Pak AR meniti karir di
Muhammadiyah sejak dari bawah, yaitu menjadi anggota, menjadi muballigh yang
ditugaskan di pelosok Sumatera Selatan dan di kampungnya sendiri, sampai pada
pimpinan puncak yakni dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pak
AR menjadi pemimpin setelah melalui proses yang amat panjang.
Melihat
sosok Pak AR, akan didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu
menghayati bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa
ummat di tingkat bawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan
menggerakkan organisasi di tingkat Ranting yang jauh dari kota, yang serba
kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah, kesulitan-kesulitan, dan suka
duka yang dialami seorang pemimpin yang bekerja di tingkat Ranting dan Cabang
dapat memberi pengalaman yang berharga dan menjadikan seorang pemimpin menjadi
arif dalam mengambil kebijakan dalam memimpin umat.
Pak AR adalah ulama besar yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya
sebagai pemimpin ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika
menyambut kunjungan pimpinan Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta,
sebenarnya Pak AR menyampaikan kritikan kepada umat Katholik, tetapi kritik itu
disampaikannya secara halus dan sejuk berupa sebuah surat terbuka.
Dalam
surat itu, Pak AR mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah
muslim. Namun, ada hal yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa
umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang
masih menderita dan miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang,
dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk
modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam
dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Paus Yohanes
Paulus II itu, Pak AR menyatakan bahwa agama harus disebarluaskan dengan
cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh
ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk dalam bahasa Jawa halus,
serta dijiwai semangat toleransi yang tinggi.
Orang
mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang selalu mengatakan bahwa
kelebihan Pak AR adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan
Pak AR yang terasa adalah kesejukan.
Semasa
hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah. Sikap
hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan
bersahaja, adalah pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR
adalah penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan
sesama Muslim, bahkan juga non Muslim dalam persaudaraan kemanusiaan yang
luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan suasana saling membenci,
curiga, iri hati, saling ingin menapikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam
kehidupan ber-Muhammadiyah.
Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai
penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan
pedoman. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan,
Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai
Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya
Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah
Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan
Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadis; Chutbah Nikah dan
Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-enthengan;
Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.
Ulama kharismatik ini tidak
bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada
Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun masih banyak
Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam
Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan
menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak AR masih aktif melaksanakan
kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo
memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan
demikian, sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret
1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.
Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA (Ketua 1990 -1995)
Tokoh
kharismatik dan pejuang perang sabil ini dikenal sebagai ulama yang sederhana,
dan tak sedikit pula orang yang kagum pada kecemerlangan iktelektualnya. Azhar
Basyir, demikian Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA kerap disapa.
Ulama-intelektual ini lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Masa kecilnya
tumbuh dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang kuat berpegang pada nilai
agama. Yaitu, di kampung Kauman.
Selama
34 tahun Azhar Basyir malang melintang menggeluti studi formalnya di Tanah Air
hingga luar negeri. Putra pasangan Haji Muhammad Basyir dan Siti Djilalah ini
memulai pendidikan di Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta.
Setelah tamat, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes
Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian, Azhar Basyir berpindah
ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah
pertamanya pada Tahun 1944. Pendidikan lanjutan kemudian ditempuhnya di
Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta dan rampung
dalam dua tahun.
Pada masa revolusi, Azhar Basyir bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah,
Batalion 36 Yogyakarta. Pasca kemerdekaan, Azhar Basyir kembali ke bangku study
melalui Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949, dan tamat tahun 1952.
Baru kemudian meneruskan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta.
Berkat kegigihan yang ditunjang kemampuan ilmu agamanya, Azhar Basyir dipercaya
menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah tatkala lembaga ini baru didirikan tahun
1954. Jabatannya mendapat pengukuhan kembali pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah
di Palembang tahun 1956. Tak lama tugas itu diembannya, Azhar Basyir mendapat
beasiswa untuk belajar di Universitas Baghdad, Irak. Fakultas Adab Jurusan
Sastra adalah bidang yang diambilnya. Dari sini, Azhar Basyir melanjutkan studi
ke Fakultas Dar Al 'Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic Studies sampai
meraih gelar master dengan tesis: Nizam al-Miras fi Indunisia, Bain
al-'Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyah (Sistem Warisan di Indonesia, antara
Hukum Adat dan Hukum Islam).
Sekembalinya
ke Indonesia selama study di Timur Tengah, Azhar Basyir diangkat sebagai dosen
di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya bidang keilmuan yang ditekuninya,
di lapangan organisasi Azhar Basyir pun aktif terlibat. Bahkan sejak duduk di
sekolah menengah sudah bergiat di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Karir
berorganisasinya dimulai sebagai Juru Tulis yang tugasnya mengetik dan
mengantar surat. Barulah kemudian Azhar Basyir masuk dalam jajaran Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, yaitu di Majelis Tarjih sampai tahun 1985.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990, ulama intelektual ini diberi
amanah di jajaran Ketua PP Muhammadiyah. Saat memasuki musim haji tahun 1994,
pemerintah menunjuknya selaku perwakilan Amirul Haj Indonesia. Pulang
dari Tanah Suci, Azhar Basyir kembali bekerja keras. Dan pada saat yang sama,
duduk di beberapa organisasi seperti menjadi salah satu ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan Pengawas Syariah Bank
Muamalat Indonesia, serta anggota MPR-RI periode 1993-1998. Pada usia 65 tahun,
tokoh kharismatik ini mulai memasuki masa pensiun dari kegiatan mengajar di
Fakultas Filsafat UGM. Tetapi, tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan
mengajar di Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir
terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan
dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa
Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf
Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi
dunia tanpa meninggalkan dzikir. Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam
menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan pemikirannya
itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai ilmu agama,
kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut
ditimba. Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan
intelektual. Oleh karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens
memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai
berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman. Karya ilmiah yang pernah
ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di
berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir juga
bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas
Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis
Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra
Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah
Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan
Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme
dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila;
Agama Islam I dan II, dan lain-lain. Selain itu, Magister dalam ilmu
Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang
disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di Lembaga Fiqih
Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.
Tepatnya pada awal Juni 1994,
ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit gula, radang usus, dan
jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, wafad di Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar Basyir
wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di
Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.
Prof. Dr. H. Amien Rais (Ketua 1995 -1998)
Bagian I
Meskipun
tak semua nama otomatis mewakili kepribadian seseorang, namun membaca nama
Tokoh Sentral Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah cukup sebagai referensi
awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof. Dr. Muhammad. Amien Rais, MA.
yang lebih populer dikenal Amien Rais adalah sosok pemimpin terpercaya di
republik ini. Lahir pada 26 April 1944 di Surakarta. Orang tuanya berharap
putra kedua dari enam bersaudara ini menjadi kyai dan melanjutkan pendidikan
agama ke Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan Sudalmiyah,
ayah dan ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat
menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak membaca dan
berbudi pekerti. Dari lingkungan sekitarnya, Amien Rais juga banyak belajar
tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat dekat dengan kondisi keluarga
miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk ruang tidur dan
dapurnya yang alakadarnya.
.
Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah I
Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga selesai di sekolah Muhammadiyah.
Pendidikan tingkat sarjana Amien Rais selesaikan di Jurusan Hubungan
Internasional fakultas FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan
tahun berikutnya juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais terlibat
aktif dan berperan di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa
Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya
dilanjutkan pada tingkat Master bidang Ilmu Politik di University of Notre
Dame, Indiana, dan selesai tahun 1974. Dari universitas yang sama juga memperoleh
Certificate on East-European Studies. Sedangkan gelar Doktoralnya
diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan mengambil
spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan selesai tahun 1984.
Disertasinya yang cukup terkenal, berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt:
its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir:
Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral
Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada
tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat
mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967, sebuah
penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien Rais hanya
berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak pernah tidak kritis.”
Sebagai
ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Gadjah
Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik Internasional, Sejarah dan
Diplomasi di Timur Tengah, Teori-teori Sosialisme, hingga memegang mata kuliah
Teori Revolusi dan Teori Politik di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain
itu, Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK),
lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian dan penelitian sebagai bentuk
keprihatinan atas terbatasnya produk kebijakan menyangkut masalah-masalah
strategis yang berorientasi pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat.
Perjalanan pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan
kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu mengantarnya menjadi salah
seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan di berbagai negeri
mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke Tanah Air setelah
sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman Sam,
tugas-tugas intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik berupa
transformasi keilmuan dengan mengajar di berbagai universitas maupun dengan
melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung-- meneguhkan
sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata dan dapat dipercaya.
Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik di Indonesia. Dan
sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais juga seringkali melontarkan
kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah
negeri tempatnya sendiri belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi
Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya terhadap intervensi asing dan
budaya koorporatokrasi yang menjagal hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia
sendiri terekam jelas dalam buah pikirnya pada buku: Selamatkan Indoenesia;
Agenda Mendesak Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak
segan-segan mengakuinya sebagai Angry Book (buku yang marah). “Saya
mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang sudah dibrainwashing sejak
jaman londo dahulu, dan sekarang masih melekat sebagai mental inlander.
Tanpa melepaskan mental inlander (mental budak), kita tidak bisa bangkit.
Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti Sultan Agung Mataram tapi malah
mengikuti Amangkurat I dan II yang menjual Pelabuhan Cirebon (pada bangsa
asing) dan memanggil eyang pada Gubernur Jendral Belanda”. Tukasnya
tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah kesempatan diskusi Majelis
Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh
masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya sebagai cerdik cendekia
terkemuka telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia), yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru.
Namun, kondisi politik dan perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat
tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak
populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi,
kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan
negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti
Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais
kemudian terpental dari posisinya di ICMI.
Namun
kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap
sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu
kemudian menuai dukungan penuh. Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir
Muhammadiyah yang berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu
besar, yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat
itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat mencengkeram.
Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui
suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar
yang sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen
Rais juga merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya karena mendapat support
penuh dari istri dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad
Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.
Bagian II
”Saya
dulu dididik ibu untuk amar ma’ruf. Menurut beliau, melaksanakan amar
ma’ruf tidak ada resikonya. Orang yang tidak setuju pun tidak marah. Tapi,
melaksanakan nahi mungkar banyak resikonya,” gugahnya nan bersahaja.
Proses
ragi politik yang terus membusuk dan melemahkan sendi-sendi ekonomi bangsa pada
dasawarsa kedua tahun 1990-an, mendorong Amien Rais kembali menggulirkan
gagasan tentang suksesi, bahkan dengan desakan lebih luas: Reformasi Total.
Berawal dari kasus Freeport dan Busang, Amien Rais sengaja meggerbah kelesuan
perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, gagasan dan gerakannya
berada di garda paling depan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.
Sejak awal bergulirnya reformasi, Amien Rais sudah menyatakan ”siap”
mencalonkan diri sebagai presiden. Ini sebuah pernyataan yang dinilai sangat
berani pada saat itu meskipun diakuinya sendiri hanya sebatas political
education. Namun wacana pencalonan dirinya sebagai presiden, bukanlah
semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa melainkan cermin sikap high
politic-nya yang konsekwen mendorong upaya pengentasan penderitaan rakyat
akibat distorsi kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Amien Rais
melihat keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan.
Keterlibatan
Amien Rais di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah
tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh. Pada Muktamar
Muhammadiyah ke-42 (1990) di Yogyakarta, Amien Rais terpilih sebagai Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meninggalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir selaku Ketua
Umum Muhammadiyah pada tahun 1994 kemudian mendaulat Sang Pemberani ini
ke posisi puncak itu. Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh
akhirnya secara aklamasi meminta kesediannya melanjutkan tampuk nakhoda
Muhammadiyah.
Dapat
dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais tidak pernah terlepas dari
pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik nasional yang menurutnya
perlu direformasi untuk menghindari keterpurukan bangsa yang semakin dalam.
Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto dari jabatan
presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung mencekam dan sangat
meresahkan. Maka bersama berbagai komponen tokoh bangsa lainnya Amien Rais
mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi terbaik pasca
reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung jika Amien Rais
harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai komponen bangsa
yang menginginkan perubahan paradigma politik Indonesia, Amien Rais kemudian
mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional (PAN).
Sebagai konsekuensi dari langkah politik itu, Amien Rais harus melepaskan
posisi puncak di Muhammadiyah.
”Muhammdiyah
adalah rumah abadi saya,” tegasnya tak dapat mengelakkan rasa haru.
Kiprah
Amien Rais selama mamainkan peran awal hingga sekarang di pentas politik
nasional cukup fenomenal. Partai Amanat Nasional yang kemudian dinakhodainya
sendiri berhasil cukup gemilang dalam mengikuti pemilu pertamakali tahun 1999,
dimana partai berlambang matahari itu mampu meraup perolehan suara 7% dan
menempatkan posisinya di peringkat ke-5 dalam perolehan suara nasional seluruh
partai kontestan. Posisi tersebut, berhasil pula mengantarkan Amien Rais
sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Dalam posisi paling atas
lembaga tertinggi negara itu, Amien Rais menjadi king maker regulasi
demokrasi nasional. Bahkan dengan kepiawaian dan kecerdasan politiknya, Amien
Rais menggulirkan gagasan Poros Tengah untuk membangun jalan baru dari dua
titik ekstrim dalam kubu politik yang cenderung berlaku zero some game
sebab tersandung kebekuan hubungan politik, sampai kemudian berhasil
mencalonkan, mengawal dan sekaligus mengantarkan Abdurrahman Wahid ke tampuk
kursi Presiden ke-4 RI. Dan ternyata, gagasan Poros Tengah itu mampu memberi
pengaruh pula bagi upaya merajut hubungan harmonis Muhammadiyah-NU yang
sebelumnya kerap bersebrangan tegang dalam pilihan instrumen dan gerak
dakwahnya. Meskipun keharmonisan hubungan itu tak lama disemai, sebab proses
politik setelahnya berlangsung di luar duga, dimana presiden ke-4 RI yang tak
lain tokoh sentral NU itu akhirnya dilengserkan secara konstitusional oleh MPR
RI yang kebetulan masih dikomandanu Amien Rais.
Meskipun
Amin Rais sendiri belum berhasil meraih kursi presiden ke-5 RI dalam kontestasi
Pemilu Presiden yang diselenggarakan pertamakali secara langsung (2004), namun
prestasi politiknya tak terpungkiri sejarah bangsa Indeonsia sebagai sosok
bapak dan sekaligus sokoguru politik bangsa yang mewakili lima nilai
istimewa rapor politikus era reformasi: Ikhlas, cerdas, tegas, jujur dan
bersih. Kini, menjelang usia lanjut dan tampak mulai memasuki masa sepuh, Amin
Rais masih segar sumringah berkiprah di Muhammadiyah.
Prof. Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif (Ketua 1998 - 2005)
Buya
Safii, demikian sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Safii Maarif. Tokoh pluralis yang
tak sedikit menyumbangkan gagasan dan pemikiran keislaman dalam naungan payung
besar kemajemukan bangsa Indonesia ini lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat,
31 Mei 1935. Masa kecil Buya Syafii yang sangat dekat dengan tradisi Islam
telah menjadi magnet awal yang senantiasa mengajaknya bergumul dengan
pengetahuan keislaman serta berusaha memahaminya sedalam mungkin. Geliat hidup
demikian itu, dapat dikata pula berkat bimbingan dari almarhumah ibunya,
Makrifah. Ketajaman minat Buya Safii mendalami Islam kian terasah dan makin
tajam oleh pendidikan yang dijalaninya kemudian, dan pada akhirnya membentuk
dirinya hidup secara kental dalam kultur Islam.
Setamat
Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya, Buya Safii menginjakkan kaki
di lantai sekolah Madrasah Mu’allimin Lintau, Sumatera Barat. Sampai kemudian
menyebrangkan kakinya jauh melintasi lautan untuk melanjutkan sekolah ke
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal
ilmu agama di Mu’allimin itu, Buya Safii pun menerima dengan lapang dada tugas
pengabdian yang harus diembannya ke Lombok Timur selama satu tahun sebagai guru
di sekolah Muhammadiyah.
Setelah
menjalani masa pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan studinya kembali ke
perguruan tinggi, meskipun ikhtiar menempuh pendidikan tinggi baginya bukanlah
hal yang mudah. Namun tekad dan semangatnya menimba ilmu telah membuatnya mampu
menerabas segala rintangan. Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii
masih sanggup merentang jerih usahanya dengan hanya ditopang saudaranya untuk
bisa duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak, kenangnya mengilustrasikan
perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan Majalah Kuntum.
Baru
satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya
jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari
saudaranya terputus, sehingga Buya Safii memutuskan untuk tidak melanjutkan
kuliah. Masa itu cukup getir, dimana Buya Safii harus menyambung hidup sebagai
guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Tak
salah banyak orang memuji semangat keilmuannya, motivasi belajar Buya Safii tak
berhenti hanya oleh getah getir kesulitan hidup yang membelintang di
hadapannya. Sembari bekerja, suami siti hi hi... dan ayah dari ketiga
putra-putrinya: la, lu, li, (maaf belum menemukan siapa nama istri dan
anak-anaknya) Buya Safii kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena
tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil
diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar
Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta empat tahun kemudian. Kepakarannya di
bidang sejarah semakin teruji setelah memperoleh gelar Master dari Ohio State
Universitas, Amerika Serikat.
Pilihan
yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan,
komentarnya
ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.
Gelar
Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago dalam Program
Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan disertasi: Islam as the Basis
of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the
Constituent Assembly Debates in Indonesia. Anak bungsu di antara empat
bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran
dengan bimbingan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di
sana pula, Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid
dan Amien Rais yang sedang menjalani pendidikan doktor.
Buya
Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah demikian memikat
minatnya karena sejarah berbicara tentang simpul-simpul kemanusiaan secara
totalitas. Tak heran jika dalam sebuah ungkapannya terlukis kesan itu: Sudah 25
tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama melebihi
perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya,
bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak
jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan
tanpa batas.
Dari
proses itu pula, rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada
masalah-masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang kuat berurat akar dalam
sanubarinya kemudian memercik indah dalam tafsir dan ajakan membumikan islam
dalam kembangan Hablumminnas yang sejati: saling mencintai dan mengasihi
sesama manusia di muka bumi. Dan menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam
keyakinan sebatas ritual, namun juga harus mampu mengembangkan praktik dan
perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya: rahmatan
lil’alamin.
”Terasalah
kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang
hendak dilayari.” Kalimat bersahaja itu terlontar pada mukaddimah pidato
Pengukuhan Guru Besar-nya di IKIP Yogyakarta. “Rendah hati adalah refleksi dari
iman,” sambungnya.
Maka
tak berelebihan, jika begitu banyak orang yang terpukau dan takzin pada sosok
Buya Safii sebagai ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap
pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah
masyarakat lehadirannya selaku anak bangsa lebih dikenal sebagai seorang
agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja, pungkasnya
mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan
rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuannya
sendiri. Dalam pengertian itulah, maka timbul semakin kuat keyakinanya bahwa
dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Kita harus
percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia, demikian
tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya,
diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya wahyu
yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua
fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi
sejarah, tidak mampu melakukannya.
Membaca
buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Safii, selain menjalankan
aktivitasnya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung
dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau Buya Safii juga fasih
menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan
ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.
Bahkan
keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum Muhammadiyah merupakan sebuah
keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan reformasi sedang bergulir di
Indonesia, dan Amien Rais sebagai salah satu lokomotif pendesak yang saat itu
menakhodai Muhammadiyah harus melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk
mengawal gerak roda reformasi secara praktis, maka sebagai nakhoda pengganti
Buya Safii sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk
yang harus tetap diarahkan ke haluan utamanya agar tak terseret-seret oleh
tarikan arus pergumulan politik praktis dan kepentingan jangka pendek.
”Janganlah
kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu
berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah.
Sungguh memalukan dan melelahkan!”
Setelah
kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 (2000)
yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian mengemudikan perannya dalam
mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha
tajdid dan cita-cita pencerahan yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan
pembaharuan sebagai dasar filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi
slogan kosong dalam aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah
mendorong laju kebangkitan intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah,
sebab sangat menyadari bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti segala
gerak Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah
pintu gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan AMM
sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru kunci cerah
dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.
Dalam
sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara hidupnya sebagai bapak
bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara tulus dan dalam sekali. Bagiku, membela
bangsa adalah dalam rangka membela Islam.
Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala
meletakkan kepemimpinan Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Buya kemudian
mendirikan Maarif Institud sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka
mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan generasi muida
Islam. Kini, di bawah layar Maarif Institud, Buya Safii pun kian
menancapkokohkan jejaknya sebagai tokoh pluralis yang konsisten memperjuangkan
nilai-nilai kemajukan dakam bingkai keislamam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA
(Ketua 2005 - sekarang)
Bagian I
Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA dikenal pula dengan nama pendek
dan lebih populer, Din Syamsudin. Suami Fira Beranata ini lahir di Sumbawa
Besar, 31 Agustus 1958. Selama mengarungi bahtera rumah tangganya, Din
Syamsuddin dikarunia dua putra dan seorang putri yang masing-masing memiliki
nama indah. Yaitu, Farazahdi Fidiansyah, Mihra Dildari dan Fiardhi Farzanggi.
Kiprah
Din Syamsuddin di Persyarikatan Muhammadiyah dimulai sejak tampil menjadi Ketua
Umum sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah,
dan Wakil Ketua Muhammadiyah. Alur kiprah kepemimpinannya di Muhammadiyah
terbilang unik karena berangkat dari bekal pendidikan dasar dan menengah di
Madrasah Ibtidaiyah Nahdhatul Ulama dan Madrasah Tsanawiyah Nahdhatul Ulama
Sumbawa Besar. Di masa itu, Din Syamsuddin juga mendapat kesempatan memimpin
Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama, IPNU Cabang Sumbawa (1970 - 1972). Tamat dari
Ponpes Modern Gontor, Din Syamsuddin melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi dan berhasil menyelesaikan studi sarjana Ushuluddin jurusan
Perbandingan Agama di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1980).
Seumpama
biduk yang terus melenggang di pusaran arus dan riak gelombang kehidupan,
semangat Din Syamsuddin mendalami khazanah ilmu dan cakrawala Islam tak terjeda
aral melintang. Salah satu sumber spiritnya adalah mertuanya sendiri, Darnelis
binti Thaher. Dalam ranah kecil keluarganya, istri dan putra putrinya mengenal
sososk Din Syamsuddin sebagai ayah dan suami pendidik yang santun nan kaya teladan.
Tak heran, jika seluruh aktivitasnya mendapat dukungan penuh dari keluarganya.
Pada kesempatan terakhir saat melepas jenazah sang mertua, Din Syamsuddin
mengungkapkan bahwa ibu mertuanya selalu mendukung gerak hidupnya. Bahkan, saat
hendak memulai studi di Amerika hingga ketika akan mencalonkan diri menjadi
ketua umum PP Muhammadiyah.
“Sejak
awal kami memang sudah berkomitmen untuk menjadi keluarga yang saling
mendukung,” ungkapnya tak tahan dibeslah rasa haru.
Ketekunan
belajar dalam girah Islam yang pantang surut itu, berhasil mengantar Din
Syamsuddin menempuh pasca sarjana Interdepartmental Programme in Islamic
Studies di University of California Los Angeles (UCLA) USA hingga meraih
gelar MA, dan menyandang gelar doktor di universitas yang sama pada tahun
1996. Setelah kembali ke tanah air, Din Syamsuddin sempat bersinggungan dengan
dunia politik praktis dengan mengomandani litbang Golkar. Dan sebagai
akademisi, sehari-harinya Din Syamsuddin malang-melintang menggeluti profesi
Dosen di berbagai Perguruan Tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Jakarta
(UMJ), UHAMKA dan Universitas Indonesia (UI). Pada tahun-tahun berikutnya,
berkesempatan pula mendapat berbagai tugas kenegaraan yang cukup penting,
diantaranya sebagai Anggota Dewan Riset Nasional, Dirjen Binapenta Departemen
Tenaga Kerja RI, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga tugas
lain yang tak kalah penting seperti Sekretaris Dewan Penasihat Ikatan
Cendekiawan Muslim Iindonesia, ICMI.
Sebagai
cendekiawan muslim yang cukup konsen mendorong proses demokratisasi, Din
Syamsuddin merasa berkepentingan untuk turut mengawal arah perkembangan dan
kemajuan proses demokrasi di negara yang memiliki pemeluk Islam terbesar di
dunia ini. Ikhtiar mulia ini, tercermin dalam sebuah statemennya: Kemenangan
politik Islam di Indonesia tidak hanya ditandai oleh perolehan suara
partai-partai Islam dan penguasaan posisi politik kenegaraan. Tapi pada sejauh
mana nilai-nilai Islam seperti keadilan, kebenaran dan persamaan dapat menjadi
bagian dari watak bangsa. Ini yang harus terus diperjuangkan bersama
seluruh komponen bangsa.
Sementara
di kancah internasional, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta ini telah menorehkan kiprah yang tak sedikit dalam
usahanya merajut relasi konstruktif dan menyuarakan urgensi hubungan damai
antar pemeluk agama melalui berbagai forum yang domotorinya seperti World Peace
Forum/ WPF, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, Tokyo. World
Conference on Religions for Peace/ WCRP, New York. World Council of World
Islamic Call Society, Tripoli. World Islamic People’s Leadership, Tripoli.
Strategic Alliance Russia based Islamic World. UK-Indonesia Islamic advisory
Group.
Bagian II
Seusai
terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah hasil Mukatamar ke-45 yang belangsung
di Malang (periode 2005-2010), Din Syamsuddin senantiasa istiqomah mengabdikan
amal dakwahnya. Sosok dan pemikiran yang humanis demokratis kian tampak jelas
dalam langkah-langkah gerakannya yang tak henti menerjang sekat-sekat “kekakuan
dan kebekuan” gerakan dakwah Islam. Dengan sikapnya yang jernih tapi berani,
Din Syamsuddin gencar menyuarakan perlunya Islam membuka diri terhadap
nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berdunia
sebagai manifestasi rahmatan lil’alamin.
Negara-negara
maju, seperti AS, Uni Eropa, Cina, India dan Jepang, harus ikut berinvestasi
dalam menciptakan perdamaian dunia. Ketiadaan perdamaian dan krisis-krisis
global selama ini harus diakui adalah akibat kegagalan sistem dunia yang
didukung negara-negara maju. Demikian hal ini ditegaskan Din Syamsuddin dalam
kapasitasnya sebagai Presiden Kehormatan WCRP dan Presiden ACRP pada momentum
World Summit on Peace (WSP) dan International Leadership Conference (ILC)
dihadapan lebih dari 300 tokoh dunia dari berbagai negara yang diselenggarakan
di New York (2009).
“Inilah
saatnya bagi bangsa-bangsa cinta damai dan keadilan untuk bangkit dan
bekerjasama membangun perdamaian sejati, menghentikan kezaliman dan penjajahan
baru dalam berbagai bentuknya. Maka perlu ada sistem altermatif terhadap sistem
dunia yang rusak selama ini untuk berorientasi memecahkan masalah umat manusia,
seperti mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, melenyapkan penyakit menular,
memperbaiki kerusakan lingkungan, menghentikan perang dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya. Dalam kaitan ini, agama penting sekali berperan dengan
mendorong etika agama itu sendiri untuk perubahan, perbaikan dan kemajuan.
Namun hal ini hanya mungkin terjadi jika agama menampilkan misi sucinya sebagai
penebar rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin).” Serunya dalam
kesempatan yang lain.
Selama
menakhodai Muhammadiyah, Din Syamsuddin cenderung menampilkan langgam
kepemimpinan yang akomodatif-rekonsiliatif, sembari terus beriktiar meredam
ketegangan antar pemeluk agama serta mencari corak gerak perjuangan yang
kontributif dan saling mendamaikan. Paling tidak, buah dari ikhtiar itu sudah
terlihat dalam bingkai hubungan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang
cenderung lebih kondusif sebagai dua ormas utama pilar bangsa. Dengan usahanya
yang gigih, Din Syamsuddin dapat dikata telah mampu pula membuktikan pada dunia
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah bukan hanya ormas Islam terbesar di dunia
dilihat dari spektrum amal usahanya. Namun juga, mampu meneguhkan eksistensi
dan peran kekinian Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan pencerahan
menuju masyarakat utama yang menjunjung tinggi perdamaian dan kebersamaan umat
manusia semesta.
Thanks Ya Ilmunya, Tetap Berkarya,!!!
BalasHapus