Rabu, 08 Februari 2012

Engkau Pembohong

Masih jelas di hadapan kita derita rakyat dengan berbagai persoalan yang mereka hadapi, mulai dari kemiskinan yang berakibat pada pengagguran, rendahnya pendidikan, kebutuhan ekonomi yang semakin mencekik, dan kasus terakhir yang sedang diperbincangkan yaitu sengketa lahan antara kaum pemilik modal dengan rakyat sebagai buruhnya. Mereka hidup dengan himpitan ekonomi yang semakin hari semakin menggerus hidup mereka. Seolah tak tau pemerintah kita yang asik duduk di kursi empuk, berdalih mengurangi kemiskinan, mengangkat kaum pinggiran menjadi kaum terdidik, bersumbar di berbagai negara kalau kemiskinan di Indonesia semakin berkurang. Aduh pak, yang dibutuhkan rakyat bukan janji dan obral omongan (pamer) kita rakyat miskin butuh bukti dan perlindungan agar kami bisa hidup layak tanpa intimidasi atau apapun namanya.
Seperti halnya Allah berkata kepada seorang yang ahli membaca Al-Qur’an (qari), “Bukankah Aku telah mengajarkanmu pandai membaca Al-Qur’an yang kuturunkan kepada RosulKu?” Orang itu menjawab, benar, ya Allah. “Allah bertanya lagi, “Apa saja yang telah engkau lakukan dengan keahlian yang Kuajarkan itu?” Ia menjawab, “Aku telah membacanya dalam shalat siang dan malam.” Allah berkata, “Tidak. Engkau pembohong. Engkau membacanya supaya orang mnejulukimu seorang qari yang baik, (julukan) itu telah engkau dapatkan di dunia.”
Beberapa saat kemudian, dihadapkan seorang yang kaya, dan Allah berkata, “Bukankah telah Kumurahkan rezekimu?” Ia menjawab, benar ya Rab.” Tuhan bertanya lagi, “Apa saja yang telah kauperbuat dengan rejeki yang Kuberikan kepadamu itu?” Ia menjawab, “Aku menggunakannya untuk menghubungkan silahturahmi dan menyedekahkannya, ya Allah. “Tuhan berkata, “Tidak, engkau pembohong. “Para malaikat juga berkata, “Engkau pembohong!” dan Allah melanjutkan, “Betul bahwa engkau telah berbuat banyak dengan hartamu, tapi yang engkau cari hanyalah agar orang banyak mengatakan bahwa engkau seorang ‘dermawan’ dan nama itu telah engkau dapatkan di dunia.”
Selanjutnya, dihadapkan pula kepada Allah seseorang yang terbunuh dijalan Allah, dan Allah berkata, “Bagaimana keadaan matimu/” Orang itu menjawab, “Aku diperintahkan berjihad dijalan-Mu, ya Allah; lalu aku berangkat ke medan perang, kemudian aku terbunuh. “Allah berkata, “Tidak, engkau pembohong.” Malaikatpun menyambutnya, “Engkau pembohong. “Allah berkata, “Engkau lakukan hal itu hanyalah agar orang banyak mengatakan bahwa engkau seorang ‘pemberani’, dan hal itu telah engkau dapatkan di dunia.”
Kemudian, Rosulullah menepuk lutut Abu Hurairah berkata kepada Muawiyah tentang hadits tersebut. Lalu, Muawiyah menjawab, “Kalau ketiga mereka itu diperlakukan demikian maka bagaimana dengan orang-orang sesudahnya?” Muawiyah pun berurai air mata, hingga orang menyangkanya akan membawanya jatuh sakit yang parah. Tapi, kemudian dia mneyapu wajahnya dan berkata, “Allah dan RosulNya benar.” Muawiyah lalu menyebut firman Allah:
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan lenyaplahdi akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan.” (QS. Huud:15-16)

            Pertanyaan kita sekarang ialah mengapa mereka bertiga itu dibakar dengan api neraka? Jawabanya ialah lantaran mereka beramal dengan penuh pamrih (ria) dari manusia. Sedangkan Allah SWT berfirman:
            “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS.Al-Kahfi:110)

Namun, penyakit ini telah menular di kalangan manusia dan telah terbiasa dengan hal itu. Mereka mendiamkan saja persoalan ini dan bukan mengikisnya. Sedekah hari ini penuh ria. Perkawinan hari ini menjadi perdagangan dan penggadaian. Tetangga hari ini menjadi orang-orang penuh kemunafikan dan tipuan. Ibadah dan ketaatan tidak lagi untuk menyembah Allah semata secara ikhlas. Malah ada yang begitu pamer. Begitu juga amanah, yang nyatanya telah banyak di sia-siakan. Kepercayaan telah mati, sehingga ada saudara yang tidak lagi mempercayai saudaranya sendiri dan seorang teman tidak lagi percaya kepada temannya. Seorang tetangga tidak lagi merasa aman menitipkan rumah kepada tetangga kiri-kanannya.
Padahal, kalau mereka memahami Islam dengan baik, tentulah mereka akan pasrah mengikuti aturan Allah sebagai pencipta mereka. Dan kalaulah kita merasakan manisnya iman , niscaya akan merasakan sedapnya sikap keterbukaan, kekuatan yang benar (al-hak) dan cahaya keikhlasan, faedah kejujuran, sebgaimana sabda Rosulullah saw, “Sesuatu yang paling saya takuti (menimpa) kamu ialah syirik kecil. “Sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rosulullah? Rosul menjawab, “Syirik kecil itu ialah riya. “Allah azza wa jalla akan berkata kelak pada hari kiamat, ketika manusia telah dibalasi menurut amal perbuatannya masing-masing, “Pergilah kamu kepada orang-orang yang kamu riya di dunia untuk mereka dan mintalah balasan ganjaran dari mereka.”
Bagaimana manusia akan merasa bahagia di dunia, kalau menjadikan riya sebagai ikatannya? Kalian lihat orang-orang yang memujimu di depanmu, tetapi mencacimu di belakangmu. Sekali waktu, bersikap sopan dan ramah, tapi di lain kesempatan ia bagaikan segrigala yang siap menerkam, maka perkataannya berisi dusta belakang. Kalau ia berjanji kepadamu, jajinya itu dimungkirinya. Bila engkau mengamanahkan sesuatu kepadanya, amanah itu disia-siakannya.
Bagaimana agama ini akan dapat ditegakkan dengan lurus dan benar dalam suasana yang selalu dircuni sikap pamrih (riya)? Apakah lagi yang berbahaya dari seorang abid (ahli ibadah) bila ia bersikap riya dalam ibadahnya dan orang-orang ‘shaleh’ berdagang dengan kesalehannya? Ia memakai pakaian orang-orang yang shaleh, tetapi hanya sekedar memikat orang lain agar tertarik kepadanya, karena riya telah menguasai relung jiwa mereka.
Ketika kita melihat bangsa ini semakin banyak orang-orang yang memiliki sikap-sikap seperti di atas, pemerintahan  yang hanya mengobral janji, mengeruk keuntungan dari jabatannya, korupsi, hilangnya rasa saling mempercayai. Jika sikap tidak peduli semacam itu, sudah menjangkiti para elit negeri ini, maka negeri ini akan mengalami krisis moralitas. bisa jadi kursi kepemimpinan mengantarkan kita pada kejahilan dan kesengsaraan, kezaliman dan penindasan, kefakiran dan kemiskinan, kemaksiatan dan kehinaan, dan lainnya. Mengapa tidak? Karena seorang pemimpin pemegang kendali gerak kemana rakyat dan bangsa akan digulirkan, ke barat atau ke timur, ke jurang atau kemuliaan, kesengsaraan atau kebahagiaan. Kaidah rasional menjelaskan bahwa kepatuhan umat pada pemimpin yang zalim akan menyebabkan mereka digiring pada kesengsaraan dan kehinaan. Ini telah dibuktikan dalam sepanjang sejarah manusia, dan akan berulang pada kehidupan manusia berikutnya. Al-Qur’an menyebutkan, kenyataan  inilah yang menyebabkan turunnya bala’ dan malapetaka, dan Allah swt layak menurunkan azab pada umat manusia.
Seorang pemimpin yang zalim, menyengsarakan kehidupan rakyat secara lahir dan batin, ia dan para pendukung serta pemilihnya telah berada pada titik murka Allah swt yang dosanya tak terampuni kecuali ia mampu dan telah menghibur jerit-tangis batin rakyatnya, membahagiakan kesengsaraan mereka; mengentaskan mereka dari kemiskinan dan kefakiran, menyelamatkan mereka dari lembah kehinaan dan kemaksiatan karena kemiskinan. Belum lagi dosa dan penentangan yang secara langsung diarahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah, kepemimpinan adalah puncak segalanya: puncak kemuliaan sekaligus puncak kehinaan, puncak keutamaan dan sekaligus puncak dosa. Kedudukan ini dikaruniakan oleh Allah swt setelah mendapat bermacam ujian yang berat dalam kehidupan. Ayat Al-Qur’an yang mengkisahkan penganugerahan kepemimpinan (imamah) pada nabi Ibrahim (as). Allah swt berfirman:
 “Ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 124)

Kini, bila kita melakukan suatu amal perbuatan atau untuk melakukan suatu program, coabalah kita bertanya kepada diri kita apa yang menjadi motivasi, niat, dan tujuan kita? Sebab, amal itu akan berbeda karena perbedaan penyebab yang mendorongnya. Pendorong amal itu ada kalanya baik dan ada kalanya buruk. Kejujuran itu baik bila kita melakukannya secara tepat dan benar, tapi bersikap jujur itu akan menjadi buruk apabila dilandasi motivasi pamer diri dalam rangka mencari popularitas dan mengharapkan sanjungan serta pujian. Demikian pula berjihad, yang akan dinilai baik bila kita lakukan dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang mulia, tetapi akan berubah menjadi tidak baik bahkan akan dinyalakan api neraka untuk kita sendiri di kemudian hari. Ia tidak akan pernah rela meninggalkan generasi penerus yang lemah sebagaimana firman Allah dalam yang tertera dalam surat An-Nisa ayat 9.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Pengertian lemah di sini, di antaranya menyangkut masalah akhlak, mental, serta ilmu. Sebuah Negara ataupun agama akan bias berdiri tegak dan memiliki harga diri di hadapan negara dan agama lain dikarenakan akhlak rakyat dan para penganutnya, meskipun pada akhirnya semua itu kembali kepada kuasa Allah swt. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar